topbella

Senin, 16 April 2018

referat epistaksis

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Epistaksis merupakan perdarahan spontan yang berasal dari dalam hidung. Epistaksis dapat terjadi pada segala umur, dengan puncaknya terjadi pada anak-anak dan orang tua. Epiktasis diperkirakan terjadi pada 60% warga dunia selama hidupnya dan 6% dari mereka mencari penanganan medis. Prevalensi epistaksis meningkat pada anak-anak usia dibawah 10 tahun dan meningkat kembali di usia 35 tahun keatas.
Epistaksis merupakan suatu tanda atau keluhan bukan penyakit. Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang mengganggu. Faktor etiologi harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati epistaksis secara efektif. Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa diketahui penyebabnya, kadang-kadang jelas disebabkan karena trauma.
Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, tumor, pengaruh udara lingkungan. Kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir, kelainan hormonal dan kelainan kongenital.
Kebanyakan kasus epistaksis terjadi pada bagian anterior hidung, yang mana perdarahan berasal dari anastomosis pembuluh darah arteriol di septum nasi (Pleksus Kiesselbach). Epiktasis posterior umumnya berasal dari kavum nasal posterior melalui arteri spenopalatina. Epistaksis anterior secara klinis dapat terlihat jelas. Sedangkan epistaksis posterior bisa berlangsung asimptomatik atau dapat secara diam-diam mengakibatkan mual, hematemesis, anemia, hemoptysis atau melena.
Pengobatan yang tepat pada kasus epistaksis adalah dilakukan penekanan pada pembuluh darah yang berdarah. Hampir 90% kasus epistaksis anterior dapat diatasi dengan tekanan yang kuat dan terus menerus pada kedua sisi hidung tepat diatas kartilago ala nasi. Bila hal ini tidak berhasil maka diperlukan tindakan-tindakan lain yang perlu dan dapat dilakukan. Sangat penting penetalksanaan yang tepat pada kasusu epistaksis agar tidak terjadi komplikasi.

1.2.Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk memahami mengenai anatomi hidung, etiologi epistaksis, diagnosis serta penatalaksaan dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan tentang epistaksis.






















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.   Anatomi hidung
Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian karena merupakan salah satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan.(1)
2.1.1.      Anatomi hidung luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian - bagiannya dari atas ke bawah : (1)
a)      Pangkal hidung
b)      Batang hidung (dorsum nasi)
c)      Puncak hidung
d)     Ala nasi
e)      Kolumela dan
f)       Lubang hidung (nares anterior).
Gambar 1. Anatomi hidung  luar

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : (1)
a)      Tulang hidung (os.nasal)
b)      Processus frontalis os maksilla
c)      Processus nasalis os frontal
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu :(1)
a)      Sepasang Kartilago nasalis lateral superior
b)      Sepasang Kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan
c)      Tepi anterior kartilago septum.

Gambar 2. Anatomi  ostium dan condrium hidung luar

2.1.2.      Anatomi hidung dalam
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. (1)
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut - rambut panjang yang disebut vibrise. (1)
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah : (1)
a)      Lamina prependikularis os etmoid
b)      Vomer
c)      Krista nasalis os maksila
d)     Krista nasalis os palatina
Bagian tulang rawan adalah Kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan Kolumela.
Gambar 3. Anatomi kartilago dan ostium kavum nasi

Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil lagi ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior.(1)
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior merupakan bagian dari labirin etmoid. Di antara konka - konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.(1)
Gambar 4. Anatomi Hidung Dalam

Gambar 5. Muara sinus maksilaris, ethmoidalis, dan sphenoid

2.1.3.      Vaskulrisasi hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika dari a.karotis interna. (1)
Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a.maksilaris interna, di antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang - cabang a.fasialis.(1)
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang - cabang a.sfenopalatina, a.etmois anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor, yang disebut pleksus kiesselbach (Little’s area). Pleksus kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epitaksis (perdarahan hidung) terutama pada anak.(1)
Vena - vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena - vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial. (1)






Gambar 6. Vaskularisasi Hidung

2.1.4.      Inervasi Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatina.(1)
Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut saraf sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.(1)
Fungsi penghidu berasal dari n.olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel – sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.(1)
Description: cav2

Gambar 4. Persyarafan Hidung


2.2.   Fisiologi Hidung
Berdasarkan  teori  struktural,  teori  revolusioner  dan  teori  fungsional,  maka fungsi  fisiologis  hidung  dan  sinus  paranasal  adalah  :(2)
1.      Fungsi  respirasi
Mengatur   kondisi   udara (air   conditioning),   penyaring   udara,   humidifikasi, penyeimbang  dalam  pertukaran  tekanan  dan  mekanisme  imunologik  lokal. Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37°C. Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas. Partikel debu, virus, bakteri, dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring di hidung oleh: rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan reflex bersin;
2.      Fungsi penghidu
Mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu. Adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat. Fungsi hidung untuk membantu indra pencecap adalah untuk membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan ;
3.      Fungsi fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,sehingga terdengar suara sengau (rhinolalia). Terdapat 2 jenis rhinolalia yaitu rhinolalia aperta yang terjadi akibat kelumpuhan anatomis atau kerusakan tulang di hidung dan mulut. Yang paling sering terjadi karena stroke dan rhinolalia oklusa yang terjadi akibat sumbatan benda cair (ketika pilek)  atau padat (polip, tumor, benda asing) yang menyumbat;
4.      Fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas;
5.      Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor reflex yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung, dan pankreas.

2.3.   Epistaksis
2.3.1.      Definisi
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga hidung atau nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang hampir 90 % dapat berhenti sendiri. Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang sangat mengganggu dan dapat mengancam nyawa. Faktor etiologi harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati epistaksis secara efektif.(3)


2.3.2.      Etiologi
Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput mukosa hidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah Pleksus Kiesselbach (area Little). Pleksus Kiesselbach terletak di septum nasi bagian anterior, di belakang persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis. Epistaksis sering kali timbul spontan tanpa dapat ditelusuri penyebabnya. Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan sistemik. Secara Umum penyebab epistaksis dibagi dua yaitu :(3)
1.      Lokal
a.       Trauma
Epistaksis yang berhubungan dengan tRauma biasanya mengeluarkan sekret dengan kuat, bersin, mengorek hidung, trauma seperti terpukul, jatuh dan sebagainya. Selain itu iritasi oleh gas yang merangsang dan trauma pada pembedahan dapat juga menyebabkan epistaksis.(4)
Epistaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam. Perdarahan dapat terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila konka itu sedang mengalami pembengkakan. Bagian anterior septum nasi, bila mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar aliran udara pernafasan yang cenderung mengeringkan sekresi hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha melepaskan dengan jari menimbulkan trauma digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrana mukosa septum dan kemudian perdarahan.
Benda asing yang berada di hidung dapat menyebabkan trauma local, misalnya pada pipa nasogastrik dan pipa nasotrakea yang menyebakan trauma pada mukosa hidung.(3)
Trauma hidung dan wajah sering menyebabkan epistaksis. Jika perdarahan disebabkan karena laserasi minimal dari mukosa biasanya perdarahan yang terjadi sedikit tetapi trauma wajah yang berat dapat menyebabkan perdarahan yang banyak.(5)
b.      Infeksi
Infeksi hidung dan sinus paranasal, rinitis, sinusitis serta granuloma spesifik, seperti lupus, sifilis dan lepra dapat menyebabkan epistaksis.(4)
c.       Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermiten, kadang-kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah, Hemongioma, karsinoma, serta angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat.(4)
Description: 191
Gambar 7. Epistaksis pada neoplasma
d.      Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan telangiektasis heriditer (hereditary hemorrhagic telangiectasia/Osler's disease).(3)
Description: 192
Gambar 8. Osler’s desease
e.       Sebab-sebab lain termasuk benda asing , deviasi septum dan perforasi septum.
Perforasi septum nasi atau abnormalitas septum dapat menjadi predisposisi perdarahan hidung. Bagian anterior septum nasi, bila mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar aliran udara pernafasan yang cenderung mengeringkan sekresi hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha melepaskan dengan jari menimbulkan trauma digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrana mukosa septum dan kemudian perdarahan.(5)
Gambar 9. Epistaksis
f.       Pengaruh lingkungan
Kelembaban udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi mukosa. Epistaksis sering terjadi pada udara yang kering dan  saat musim dingin yang disebabkan oleh dehumidifikasi mukosa nasal selain itu bisa di sebabkan oleh zat-zat kimia yang bersifat korosif yang dapat menyebabkan kekeringan mukosa sehingga pembuluh darah gampang pecah.(3)
2.      Sistemik
a.       Kelainan darah
  Misalnya trombositopenia, hemofilia dan leukemia. 
b.      Penyakit kardiovaskuler,
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis, sifilis, diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi biasanya hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak baik.
A.    Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg. Epistaksis sering terjadi pada tekanan darah tinggi karena kerapuhan pembuluh darah yang di sebabkan oleh penyakit hipertensi yang kronis terjadilah kontraksi pembuluh darah terus menerus yang mengakibatkan mudah pecahnya pembuluh darah yang tipis.(6)
B.     Arteriosklerosis
Pada arteriosklerosis terjadi kekakuan pembuluh darah. Jika terjadi keadaan tekanan darah meningkat, pembuluh darah tidak bisa mengompensasi dengan vasodilatasi, menyebabkan rupture dari pembuluh darah.

C.    Sirosis hepatis
Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan dengan koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen, protrombin, faktor V, VII, IX, X dan vitamin K. Pada sirosis hepatis fungsi sintesis protein-protein dan vitamin yang dibutuhkan untuk pembekuan darah terganggu sehingga mudah terjadinya perdarahan. Sehingga epistaksis bisa terjadi pada penderita sirosis hepatis.(6)
D.    Diabetes mellitus
Terjadi peningkatan gula darah yang meyebabkan kerusakan mikroangiopati dan makroangiopati. Kadar gula darah yang tinggi dapat menyebabkan sel endotelial pada pembuluh darah mengambil glukosa lebih dari normal sehingga terbentuklah lebih banyak glikoprotein pada permukaannya dan hal ini juga menyebabkan basal membran semakin menebal dan lemah. Dinding pembuluh darah menjadi lebih tebal tapi lemah sehingga mudah terjadi perdarahan. Sehingga epistaksis dapat terjadi pada pasien diabetes mellitus.(6)
3.      Infeksi sistemik akut
Demam berdarah, demam typhoid, influenza, morbili, demam tifoid.
4.      Gangguan endokrin / hormonal
Pada saat hamil terjadi peningkatan estrogen dan progestron yang tinggi di pembuluh darah yang menuju ke semua membran mukosa di tubuh termasuk di hidung yang menyebabkan mukosa bengkak dan rapuh dan akhirnya terjadinya epistaksis.(3)
5.      Alkoholisme

Alkohol dapat menyebabkan sel darah merah menggumpal sehingga menyebabkan terjadinya sumbatan pada pembuluh darah. Hal ini menyebabkan terjadinya hipoksia dan kematian sel. Selain itu hal ini menyebabkan peningkatan tekanan intravascular yang dapat mengakibatkan pecahnya pembuluh darah sehingga dapat terjadi epistaksis.(4)

2.3.3.      Patofisiologi
Secara anatomi, perdarahan hidung berasal dari arteri karotis interna yang mempercabangkan arteri etmoidalis anterior dan posterior, keduanya menyuplai bagian superior hidung. Suplai vaskular hidung lainnya berasal dari arteri karotis eksterna dan cabang-cabang utamanya.
Arteri sfenopalatina membawa darah untuk separuh bawah dinding hidung lateral dan bagian posterior septum. Semua pembuluh darah hidung ini saling berhubungan melalui beberapa anastomosis. Suatu pleksus vaskular di sepanjang bagian anterior septum kartilaginosa menggabungkan sebagian anastomosis ini dan dikenal sebagai little area atau  pleksus Kiesselbach. Karena ciri vaskularnya dan kenyataan bahwa daerah ini merupakan objek trauma fisik dan lingkungan berulang maka merupakan lokasi epistaksis yang tersering. 
Menentukan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadang-kadang sukar ditanggulangi. Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan, yaitu dari bagian anterior dan posterior.
1)      Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, merupakan sumber perdarahan paling sering dijumpai anak-anak. Dapat juga berasal dari arteri ethmoid anterior. Perdarahan dapat berhenti sendiri (spontan) dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana.
Gambar 10. Epistaksis anterior

2)      Epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior. Perdarahan cenderung lebih berat dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat menyebabkan anemia, hipovolemi dan syok. Sering ditemukan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular
Description: Post







Gambar 11. Epistaksis posterior

2.3.4.      Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesis
Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan belakang hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau pada bagian hidung yang terbanyak mengeluarkan darah. Pada anamnesis harus ditanyakan secara spesifik mengenai:(3)
1.      Riwayat perdarahan sebelumnya
2.      Lokasi perdarahan
3.      Apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorokan atau keluar dari hidung depan bila pasien duduk tegak
4.      Lama perdarahan dan frekuensinya
5.      Kecenderungan perdarahan
6.      Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
7.      Hipertensi
8.      Diabetes melitus
9.      Penyakit hati
10.  Penggunaan antkoagulan
11.  Trauma hidung belum lama
12.  Obat-obatan misal aspirin
Kebanyakan kasus epistaksis timbul sekunder trauma yang disebabkan oleh mengorek hidung menahun atau mengorek krusta yang telah terbentuk akibat pengeringan mukosa hidung berlebihan.(4)
Perlu ditanyakan juga mengenai kelainan pada kepala dan leher yang berkaitan dengan gejala-gejala yang terjadi pada hidung. Bila perlu, ditanyakan juga megenai kondisi kesehatan pasien secara umum yang berkaitan dengan perdarahan misalnya riwayat darah tinggi, arteriosclerosis, koagulopati, riwayat perdarahan yang memanjang setelah dilakukan operasi kecil, riwayat penggunaan obat-obatan seperti koumarin, NSAID, aspirin, warfarin, heparin, ticlodipin,  serta kebiasaan merokok dan minum-minuman keras.(4)
Pemeriksaan Fisik
Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala, spekulum hidung dan alat penghisap (bila ada) dan pinset bayonet, kapas, kain kassa.(4)
Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi dan ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau mengeksplorasi sisi dalam hidung.(3)
Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan. Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti untuk sementara. Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.(4)
Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yang diperlukan berupa:(5)
a)      Rinoskopi anterior : Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konkha inferior harus diperiksa dengan cermat.
Gambar 12. Rhinoskopi Anterior
b)      Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma
c)      Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.
d)     Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI
Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI penting mengenali neoplasma atau infeksi.
Description:  Description:
Gambar 13. Gambaran sagital MR pada solitary fibrous tumor dengan masa tumor dan epistaksis dan Gambaran angiogram angiofibroma juvenil dengan obstruksi hidung dan epistaksis
e)      Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan penyakit lainnya.
Description: Posterior_Epistaxis_Labeled










Gambar 14. Tampilan endoskopi epistaksis posterior

f)       Skrining terhadap koagulopati
Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu tromboplastin parsial, jumlah platelet dan waktu perdarahan.
g)      Riwayat penyakit
Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan (underline desease) yang mendasari epistaksis.
2.3.5.      Penatalaksanaan
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Kalau ada syok, perbaiki dulu kedaan umum pasien.
1.      Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok.
2.      Menghentikan perdarahan
a.       Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping hidung ditekan ke arah septum selama beberapa menit (metode Trotter).

‘;




Gambar 14. Metode Trotter
b.      Tentukan sumber perdarahan dengan memasang tampon anterior yang telah dibasahi dengan adrenalin dan pantokain/lidokain, serta bantuan alat penghisap untuk membersihkan bekuan darah.
Description: Figure 3
Gambar 15. Tampon Anterior

c.       Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas, dilakukan kaustik dengan larutan nitras argenti 20%-30%, asam trikloroasetat 10% atau dengan elektrokauter. Sebelum kaustik diberikan analgesia topikal terlebih dahulu.
d.      Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung, diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin yang dicampur betadin atau zat antibiotika. Dapat juga dipakai tampon rol yang dibuat dari kasa sehingga menyerupai pita dengan lebar kurang ½ cm, diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke puncak rongga hidung. Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal perdarahan dan dapat dipertahankan selama 1-2 hari.
Gambar 16. kauterisasi sumber perdarahan

e.       Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau tampon Bellocq, dibuat dari kasa dengan ukuran lebih kurang 3x2x2 cm dan mempunyai 3 buah benang, 2 buah pada satu sisi dan sebuah lagi pada sisi yang lainnya. Tampon harus menutup koana (nares posterior)
Gambar 17.  Diagram penangan epistaksis
Epistaksis yang tidak hilang dengan penekanan dan pemberian topical vasokonstriktor membutuhkan tindakan kauterisasi. Setelah mempersiapkan hidung untuk di anastesi dan pemberian dekongestan, kauterisasi kimia (chemical cautery) dengan mengunakan silver nitrate dapat dikerjakan. Hanya satu sisi septum yang di kauterisasi pada satu waktu agar menurunkan resiko perforasi septum iatrogenic. Kauterisasi kimia dapat dilakukan pada epistaksis dengan perdarahan ringan aktif atau setelah perdarahan aktif yang telah berhenti dan sumber perdarahan telah teridentifikasi. Apabila harus dilakukan kauterisasi bilateral, penanganannya harus di lakukan terpisah 4-6 minggu agar terjadi penyembuhan mukosa terlebih dahulu. Epistaksis berat yang tidak berespon dengan kauterisasi kimia memerluka kauterisasi elektrikal.
Gambar 18. Anterior  Nasal Packing / Tampon Hidung Anterior

Apabila perdarahan masih berlanjut walaupun setelah dilakukan tindakan diatas, diperlukan pemasangan anterior nasal pack / tampon hidung anterior. Produk packing tradisional mengandung materi yang non-degradasi seperti kasa yang dilapisi jeli petroleum, spons yang terbuat dari hydroxylated polyvinyl acetate yang akan mengembang apabila basah (Merocel, Medtronic), dan inflatable pack dilapisi hydrocolloid yang masih kontak dengan mukosa setelah bagian tengah pack yang telah mengempis dan dibuang (Rapid Rhino, ArthroCare). Tampon-tampon ini dipakai selama 1-3 hari sebelum dilepas.
Pemansangan anterior nasal packing / tampon hidung anterior harus dilakukan dengan hati-hati dan dengan teknik khusus. Forceps bayonet dan speculum nasal digunakan untuk melipat lembaran kasa sedalam mungkin pada kavum nasi. Setiap lipatan harus di tekan sebelum lembaran baru tambahkan diatasnya. Setalah cavun nasi tersisi dengan kasa, ujung kasa dapat ditempelkan diatas lubang hidung dan di ganti berkala.
Selain mengunakan kasa untuk anterior nasal packing, dapat juga di gunakan spons (Merocel atau Doyle Sponge). Tampon dimasukan dengan hati-hati pada dasar cavum nasi karena akan mengembang apabila terkena darah atau cairan lain. Pemberian jel lubrikan pada ujung tampon mempermudah pemasangan. Setelah tampon terpasang, tetesi tampon dengan sedikit cairan vasokonstriktor untuk mempercepat perhentian perdarahan. Tetesi saline kedalam lubang hidung agar tampon dapat mengembang sempurna. Tampon dapat dilepas setelah 3-5 hari terpasang dengan memastikan telah terjadi formasi pembekuan darah yang adekuat.
Komplikasi dari pemasangan nasal packing ini adalah hematoma septum dan abses dari trauma packing, sinusitis, singkop neurogenic selama pemasangan, dan nekrosis jaringan karena penekanan dari tampon itu sendiri. Karena adanya kemungkinan terjadi sindrom syok toksik pada pemasangan tampon yang lama, pemberian salep antibiotik topikal pada tampon diperlukan.
Epistaksis posterior jarang terjadi dibandingkan epistaksis anterior dan biasanya ditangani oleh dokter spesialis. Posterior nasal packing atau tampon posterior dilakukan dengan memasukkan kateter melalui salah satu lubang hidung atau keduanya ke nasofaring dan keluar melalui mulut. Tampon kasa di kaitkan diujung kateter lalu ditempatkan di nasofaring posterior, lalu kateter ditarik dari hidung sehingga tampon kasa dapat berada di belakang koana dan menutupi aliran rogga hidung posterior serta memberikan efek penekanan pada sumber perdarahan. Prosedur ini memerlukan keterampilan khusus dan biasanya dilakukan oleh dokter spesialis. Semua pasien dengan tampon posterior ini harus dilakukan monitoring di rumah sakit.
Gambar 19.  Posterior nasal packing/Tampon hidung posterior
Beragam sistem balon efektif dalam menangani perdarah posterior dan menimbulkan komplikasi yang lebih sedikit di bandingkan dengan prosedur packing. Konsepnya tetap sama, dengan memasukkan udara atau cairan kedalam balon, balon akan mengembang dan memberikan penekanan pada dinding lateral hidung dan septum. Tipe terbaru dari balon nasal adalah double balloon, gabungan dari balon dan Merocel yang mempunyai kemampuan untuk tetap berada di tempatnya setelah balon mengempis dan dilepas. Beberapa balon nasal dapat memberikan jalur pernafasan melalui lubang yang ada di tengahnya. Sama seperti anterior nasal packing, nekrosis jaringan dapat terjadi pada pemasangan posterior nasal packing yang salah maupun pada pemasangan balon yang dikembangkan berlebihan.
Gambar 20. Double Balloon terpasang
Gambar 21. Perbandingan Double Balloon sebelum dan sesudah di kembangkan


 Ketika tindakan konservatif gagal untuk menghentikan perdarahan, embolisasi atau ligasi pembuluh darah diperlukan. Ahli radiologi intervensi dapat melakukan embolisasi pada cabang distal dari arteri maxillaris interna dan arteri sphenopalatina untuk epistaksis posterior. Resiko terjadinya komplikasi mayor seperti stroke, paralisis wajah, kebutaan, atau neuropati berhubungan dengan administrasi material kontras adalah sebesar 4%. Komplikasi minor seperti hematoma terjadi 10% dari kasus. Sedangkan angka kesuksesan dari kebanyakkan kasus adalah 80-90%.
Berdasarkan beberapa laporan kasus dan ulasan literatur, tingkat kesuksesan ligasi arteri sphenopalatina adalah sama atau lebih tinggi dibandingkan tindakan embolisasi. Ligasi dapat dilakukan 30-60 menit dengan mengunakan teknik endoskopik modern. Ligasi endoskopik arteri sphenopalatina dapat mencegah terjadiya resiko-resiko diatas tetapi membutuhkan anastesi umum.
Epistaksis anterior yang gagal pada kausterisasi ataupun packing jarang terjadi, tetapi intervensi bedah terkadang dibutuhkan. Embolisasi pada arteri etmoidalis anterior dan posterior jarang dilakukan karena adanya resiko kanulasi dari arteri karotis interna yangmana meningkatkan resiko terjadinya stroke, atau pada arteri ophtalmika yangmana meningkatkan resiko terjadinya kebutaan. Kebanyakan otolaringologis melakukan ligasi eksternal dari arteri ethmoidalis anterior dan posterior melalui insisi kecil di medial alis mata dan melakukan kauter bipolar atau mengklem pembuluh darah sebelum pembuluh darah tersebut keluar dari foramen etmoidalis anterior dan posterior. Dengan begitu resiko stroke dan kebutaan dapat di minimalisir.
Ketika epistaksis telah terkontrol, perawatan rutin mukosa hidung penting untuk diperhatikan agar menghindari rekurensi. Pemberian gel topical, lotion, dan salep dapat melembabkan mukosa dan mempercepat penyembuhan.

2.3.6.      Komplikasi
Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha penanggulangannya. Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis (karena ostium sinus tersumbat), air mata yang berdarah (bloody tears) karena darah mengalir secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis dan septikemia. Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media, haemotympanum, serta laserasi palatum mole dan sudut bibit bila benang yang dikeluarkan melalui mulut terlalu kencang ditarik.
Sebagai akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia. Tekanan darah yang turun mendadak dapat menimbulkan iskemia otak, insufisiensi koroner dan infark miokard dan akhirnya kematian. Harus segera dilakukan pemberian infus atau transfusi darah.

2.3.7.      Pencegahan
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya epistaksis antara lain :
1.      Gunakan semprotan hidung atau tetes larutan garam, yang keduanya dapat dibeli, pada kedua lubang hidung dua sampai tiga kali sehari. Untuk membuat tetes larutan ini dapat mencampur 1 sendok teH garam ke dalam secangkir gelas, didihkan selama 20 menit lalu biarkan sampai hangat kuku.
2.      Gunakan alat untuk melembabkan udara di rumah.
3.      Gunakan gel hidung larut air di hidung, oleskan dengan cotton bud. Jangan masukkan cotton bud melebihi 0,5 – 0,6cm ke dalam hidung.
4.      Hindari meniup melalui hidung terlalu keras.
5.      Bersin melalui mulut.
6.      Hindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari.
7.      Batasi penggunaan obat – obatan yang dapat meningkatkan perdarahan seperti aspirin atau ibuprofen.
8.      Konsultasi ke dokter bila alergi tidak lagi bisa ditangani dengan obat alergi biasa.
9.      Berhentilah merokok. Merokok menyebabkan hidung menjadi kering dan menyebabkan iritasi.

2.3.8.      Prognosis
Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada pasien hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering kambuh dan prognosisnya buruk.
BAB III
PENUTUP

Epistaksis (perdarahan dari hidung) adalah suatu gejala dan bukan suatu penyakit, yang disebabkan oleh adanya suatu kondisi kelainan atau keadaan tertentu. Epistaksis bisa bersifat ringan sampai berat yang dapat berakibat fatal. Epistaksis disebabkan oleh banyak hal, namun dibagi dalam dua kelompok besar yaitu lokal dan sistemik. Epistaksis dibedakan menjadi dua berdasarkan lokasinya yaitu epistaksis anterior dan epistaksis posterior. Dalam memeriksa pasien dengan epistaksis harus dengan alat yang tepat dan dalam posisi yang memungkinkan pasien untuk tidak menelan darahnya sendiri.
Prinsip penanganan epistaksis adalah menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk memeriksa pasien dengan epistaksis antara lain dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan tekanan darah, foto rontgen sinus atau dengan CT-Scan atau MRI, endoskopi, skrining koagulopati dan mencari tahu riwayat penyakit pasien.  Tindakan-tindakan yang dilakukan pada epistaksis adalah:
a.       Memencet hidung
b.      Pemasangan tampon anterior dan posterior
c.       Kauterisasi
d.      Ligasi (pengikatan pembuluh darah)
e.       Embolisasi
Epsitaksis dapat dicegah dengan antara lain tidak memasukkan benda keras ke dalam hidung seperti jari, tidak meniup melalui hidung dengan keras, bersin melalui mulut, menghindari obat-obatan yang dapat meningkatkan perdarahan, dan terutam berhenti merokok.




DAFTAR PUSTAKA
1.        Richard S S. Clinical Neuroanatomy. 8th, editor. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins; 2013.
2.        Soetjipto, Damayanti, Mangunkusumo E. Hidung. In: Efiaty A, Nurbaity I, editors. Buku Ajar Ilmu Telinga Hidung Tenggorokan. Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia; 2012. p. 96–100.
3.        Adams GL, Boies LR, Higler PH. Epistaxis. In: Boies Fundamentals of Otolaryngology. 6TH ed. Philadelphia: W.B. Saunders Company; 1994. p. 223–7.
4.        Soetjipto, Damayanti, Wardani R. Epistaksis. In: Efiaty A, Nurbaity I, editors. Buku Ajar Ilmu Telinga Hidung Tenggorokan. Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia; 2012. p. 131–5.
5.        Nguyen QA. Epistaxis [Internet]. Medscape. 2017 [cited 2018 Feb 1]. Available from: https://emedicine.medscape.com/article/863220-overview
6.        Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2014. 1952-1957 p.


Diberdayakan oleh Blogger.

about me

Foto saya
Tasikmalaya, jawa barat, Indonesia