BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang
Epistaksis merupakan
perdarahan spontan yang berasal dari dalam hidung. Epistaksis dapat terjadi
pada segala umur, dengan puncaknya terjadi pada anak-anak dan orang tua.
Epiktasis diperkirakan terjadi pada 60% warga dunia selama hidupnya dan 6% dari
mereka mencari penanganan medis. Prevalensi epistaksis meningkat pada anak-anak
usia dibawah 10 tahun dan meningkat kembali di usia 35 tahun keatas.
Epistaksis merupakan suatu
tanda atau keluhan bukan penyakit. Perdarahan dari hidung dapat merupakan
gejala yang mengganggu. Faktor etiologi harus dicari dan dikoreksi untuk
mengobati epistaksis secara efektif. Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa
diketahui penyebabnya, kadang-kadang jelas disebabkan karena trauma.
Epistaksis dapat disebabkan
oleh kelainan lokal pada hidung atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya
trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, tumor,
pengaruh udara lingkungan. Kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan
darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir, kelainan hormonal dan
kelainan kongenital.
Kebanyakan kasus epistaksis
terjadi pada bagian anterior hidung, yang mana perdarahan berasal dari
anastomosis pembuluh darah arteriol di septum nasi (Pleksus Kiesselbach). Epiktasis posterior
umumnya berasal dari kavum nasal posterior melalui arteri spenopalatina.
Epistaksis anterior secara klinis dapat terlihat jelas. Sedangkan epistaksis
posterior bisa berlangsung asimptomatik atau dapat secara diam-diam
mengakibatkan mual, hematemesis, anemia, hemoptysis
atau melena.
Pengobatan yang tepat pada
kasus epistaksis adalah dilakukan penekanan pada pembuluh darah yang berdarah.
Hampir 90% kasus epistaksis anterior dapat diatasi dengan tekanan yang kuat dan
terus menerus pada kedua sisi hidung tepat diatas kartilago ala nasi. Bila hal
ini tidak berhasil maka diperlukan tindakan-tindakan lain yang perlu dan dapat
dilakukan. Sangat penting penetalksanaan yang tepat pada kasusu epistaksis agar
tidak terjadi komplikasi.
1.2.Tujuan
Tujuan penulisan
referat ini adalah untuk memahami
mengenai anatomi hidung, etiologi epistaksis,
diagnosis serta penatalaksaan dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman dan
pengetahuan tentang epistaksis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Anatomi hidung
Hidung merupakan organ penting yang seharusnya
mendapat perhatian karena merupakan salah satu organ pelindung tubuh terhadap
lingkungan yang tidak menguntungkan.(1)
2.1.1.
Anatomi hidung
luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan
bagian - bagiannya dari atas ke bawah : (1)
a)
Pangkal hidung
b)
Batang hidung
(dorsum nasi)
c)
Puncak hidung
d)
Ala nasi
e)
Kolumela dan
f)
Lubang hidung
(nares anterior).
Gambar 1.
Anatomi hidung luar
Hidung luar dibentuk oleh kerangka
tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa
otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.
Kerangka tulang terdiri dari : (1)
a)
Tulang hidung (os.nasal)
b)
Processus frontalis os maksilla
c)
Processus nasalis os frontal
Sedangkan
kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak
di bagian bawah hidung, yaitu :(1)
a)
Sepasang Kartilago nasalis lateral superior
b)
Sepasang Kartilago nasalis lateralis inferior yang
disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan
c)
Tepi anterior kartilago septum.
Gambar 2. Anatomi ostium dan
condrium hidung luar
2.1.2.
Anatomi hidung
dalam
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan
dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi
kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan
disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. (1)
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan
ala nasi, tepat di belakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini
dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut - rambut
panjang yang disebut vibrise. (1)
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding
medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung adalah septum
nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah :
(1)
a)
Lamina
prependikularis os etmoid
b)
Vomer
c)
Krista
nasalis os maksila
d)
Krista
nasalis os palatina
Bagian
tulang rawan adalah Kartilago septum (lamina kuadrangularis)
dan Kolumela.
Gambar 3. Anatomi kartilago dan ostium kavum nasi
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang
rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh
mukosa hidung. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan
letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil lagi
ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior.(1)
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang
melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior
merupakan bagian dari labirin etmoid. Di antara konka - konka dan dinding
lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari
letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior.
Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan
dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium)
duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus
maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di
antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan
sinus sfenoid.(1)
Gambar
4.
Anatomi Hidung Dalam
Gambar 5. Muara
sinus maksilaris, ethmoidalis, dan sphenoid
2.1.3.
Vaskulrisasi
hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari
a.etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika dari
a.karotis interna. (1)
Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari
cabang a.maksilaris interna, di antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan
a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina
dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian
depan hidung mendapat perdarahan dari cabang - cabang a.fasialis.(1)
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari
cabang - cabang a.sfenopalatina, a.etmois anterior, a.labialis superior, dan
a.palatina mayor, yang disebut pleksus
kiesselbach (Little’s area).
Pleksus kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga
sering menjadi sumber epitaksis (perdarahan hidung) terutama pada anak.(1)
Vena - vena hidung mempunyai nama yang sama dan
berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar
hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena -
vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi
untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial. (1)
Gambar
6.
Vaskularisasi
Hidung
2.1.4.
Inervasi Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat
persarafan sensoris dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari
n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N V-1). Rongga hidung lainnya,
sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion
sfenopalatina.(1)
Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan
sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.
Ganglion ini menerima serabut saraf sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut
parasimpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di
belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.(1)
Fungsi penghidu berasal dari n.olfaktorius. Saraf
ini turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan
kemudian berakhir pada sel – sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di
daerah sepertiga atas hidung.(1)
Gambar
4. Persyarafan Hidung
2.2.
Fisiologi Hidung
Berdasarkan
teori struktural, teori
revolusioner dan teori
fungsional, maka fungsi fisiologis
hidung dan sinus
paranasal adalah :(2)
1. Fungsi respirasi
Mengatur
kondisi udara (air
conditioning),
penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam
pertukaran tekanan dan
mekanisme imunologik lokal. Suhu udara yang
melalui hidung diatur sehingga berkisar 37°C. Fungsi pengatur suhu ini
dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan
konka dan septum yang luas. Partikel debu, virus, bakteri, dan jamur yang
terhirup bersama udara akan disaring di hidung oleh: rambut (vibrissae) pada
vestibulum nasi, silia, palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut
lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan reflex bersin;
2. Fungsi penghidu
Mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara
untuk menampung stimulus penghidu. Adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga
hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat
mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik
napas dengan kuat. Fungsi hidung untuk membantu indra pencecap adalah untuk
membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan ;
3. Fungsi fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara
ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi
berkurang atau hilang,sehingga terdengar suara sengau (rhinolalia). Terdapat 2
jenis rhinolalia yaitu rhinolalia aperta yang terjadi akibat kelumpuhan
anatomis atau kerusakan tulang di hidung dan mulut. Yang paling sering terjadi
karena stroke dan rhinolalia oklusa yang terjadi akibat sumbatan benda cair
(ketika pilek) atau padat (polip, tumor,
benda asing) yang menyumbat;
4. Fungsi statistik
dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan
pelindung panas;
5. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor reflex yang
berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa
hidung akan menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti. Rangsang bau
tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung, dan pankreas.
2.3.
Epistaksis
2.3.1.
Definisi
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari
lubang hidung, rongga hidung atau nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit,
melainkan gejala dari suatu kelainan yang hampir 90 % dapat berhenti sendiri.
Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang sangat mengganggu dan dapat
mengancam nyawa. Faktor etiologi harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati
epistaksis secara efektif.(3)
2.3.2.
Etiologi
Perdarahan hidung diawali oleh
pecahnya pembuluh darah di dalam selaput mukosa hidung. Delapan puluh persen
perdarahan berasal dari pembuluh darah Pleksus
Kiesselbach (area Little). Pleksus Kiesselbach terletak di septum
nasi bagian anterior, di belakang persambungan mukokutaneus tempat pembuluh
darah yang kaya anastomosis. Epistaksis sering kali timbul spontan tanpa dapat
ditelusuri penyebabnya. Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan
umum atau kelainan sistemik. Secara Umum
penyebab epistaksis dibagi dua yaitu :(3)
1.
Lokal
a.
Trauma
Epistaksis yang berhubungan dengan
tRauma
biasanya mengeluarkan sekret dengan kuat, bersin, mengorek hidung, trauma
seperti terpukul, jatuh dan sebagainya. Selain itu iritasi oleh gas yang
merangsang dan trauma pada pembedahan dapat juga menyebabkan epistaksis.(4)
Epistaksis
sering juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam. Perdarahan dapat
terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila
konka itu sedang mengalami pembengkakan. Bagian anterior septum nasi, bila
mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar aliran udara pernafasan yang
cenderung mengeringkan sekresi hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha
melepaskan dengan jari menimbulkan trauma digital. Pengeluaran krusta berulang
menyebabkan erosi membrana mukosa septum dan kemudian perdarahan.
Benda asing yang
berada di hidung dapat menyebabkan trauma local, misalnya pada pipa nasogastrik
dan pipa nasotrakea yang menyebakan trauma pada mukosa hidung.(3)
Trauma
hidung dan wajah sering menyebabkan epistaksis. Jika perdarahan disebabkan
karena laserasi minimal dari mukosa biasanya perdarahan yang terjadi sedikit
tetapi trauma wajah yang berat dapat menyebabkan perdarahan yang banyak.(5)
b.
Infeksi
Infeksi
hidung dan sinus paranasal, rinitis, sinusitis serta granuloma spesifik,
seperti lupus, sifilis dan lepra dapat menyebabkan epistaksis.(4)
c. Neoplasma
Epistaksis
yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermiten,
kadang-kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah, Hemongioma, karsinoma,
serta angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat.(4)
Gambar 7. Epistaksis pada neoplasma
d. Kelainan
kongenital
Kelainan
kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan telangiektasis
heriditer (hereditary hemorrhagic
telangiectasia/Osler's disease).(3)
Gambar 8. Osler’s desease
e.
Sebab-sebab lain termasuk benda asing , deviasi septum dan perforasi
septum.
Perforasi
septum nasi atau abnormalitas septum dapat menjadi predisposisi perdarahan
hidung. Bagian anterior septum nasi, bila mengalami deviasi atau perforasi,
akan terpapar aliran udara pernafasan yang cenderung mengeringkan sekresi
hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha melepaskan dengan jari
menimbulkan trauma digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi
membrana mukosa septum dan kemudian perdarahan.(5)
Gambar
9. Epistaksis
f.
Pengaruh lingkungan
Kelembaban
udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi mukosa. Epistaksis sering terjadi
pada udara yang kering dan saat musim
dingin yang disebabkan oleh dehumidifikasi mukosa nasal selain itu bisa di
sebabkan oleh zat-zat kimia yang bersifat korosif yang dapat menyebabkan
kekeringan mukosa sehingga pembuluh darah gampang pecah.(3)
2. Sistemik
a.
Kelainan darah
Misalnya trombositopenia, hemofilia dan
leukemia.
b.
Penyakit kardiovaskuler,
Hipertensi dan kelainan
pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis,
sifilis, diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi
biasanya hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak baik.
A.
Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah
sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan
darah diastolik lebih dari 90 mmHg. Epistaksis sering terjadi pada tekanan darah tinggi karena
kerapuhan pembuluh darah yang di sebabkan oleh penyakit hipertensi yang kronis
terjadilah kontraksi pembuluh darah terus menerus yang mengakibatkan mudah pecahnya
pembuluh darah yang tipis.(6)
B.
Arteriosklerosis
Pada arteriosklerosis terjadi kekakuan pembuluh darah. Jika
terjadi keadaan tekanan darah meningkat, pembuluh darah tidak bisa
mengompensasi dengan vasodilatasi, menyebabkan rupture dari pembuluh darah.
C.
Sirosis hepatis
Hati merupakan organ penting bagi
sintesis protein-protein yang berkaitan dengan koagulasi darah, misalnya:
membentuk fibrinogen, protrombin, faktor V, VII, IX, X dan vitamin K. Pada sirosis hepatis fungsi sintesis protein-protein
dan vitamin yang dibutuhkan untuk pembekuan darah terganggu sehingga mudah terjadinya perdarahan. Sehingga
epistaksis bisa terjadi pada penderita sirosis hepatis.(6)
D.
Diabetes mellitus
Terjadi
peningkatan gula darah yang meyebabkan kerusakan mikroangiopati dan
makroangiopati. Kadar gula darah yang tinggi dapat menyebabkan sel endotelial
pada pembuluh darah mengambil glukosa lebih dari normal sehingga terbentuklah
lebih banyak glikoprotein pada permukaannya dan hal ini juga menyebabkan basal
membran semakin menebal dan lemah. Dinding pembuluh darah menjadi lebih tebal
tapi lemah sehingga mudah terjadi perdarahan. Sehingga epistaksis dapat terjadi
pada pasien diabetes mellitus.(6)
3.
Infeksi
sistemik akut
Demam berdarah, demam typhoid, influenza, morbili, demam
tifoid.
4.
Gangguan endokrin / hormonal
Pada saat hamil terjadi
peningkatan estrogen dan progestron yang tinggi di pembuluh darah yang menuju
ke semua membran mukosa di tubuh termasuk di hidung yang menyebabkan mukosa
bengkak dan rapuh dan akhirnya terjadinya epistaksis.(3)
5. Alkoholisme
Alkohol dapat menyebabkan sel darah
merah menggumpal sehingga menyebabkan terjadinya sumbatan pada pembuluh darah.
Hal ini menyebabkan terjadinya hipoksia dan kematian sel. Selain itu hal ini
menyebabkan peningkatan tekanan intravascular yang dapat mengakibatkan pecahnya
pembuluh darah sehingga dapat terjadi epistaksis.(4)
2.3.3.
Patofisiologi
Secara anatomi, perdarahan hidung berasal dari
arteri karotis interna yang mempercabangkan arteri etmoidalis anterior dan
posterior, keduanya menyuplai bagian superior hidung. Suplai vaskular hidung
lainnya berasal dari arteri karotis eksterna dan cabang-cabang utamanya.
Arteri sfenopalatina membawa darah untuk separuh
bawah dinding hidung lateral dan bagian posterior septum. Semua pembuluh darah
hidung ini saling berhubungan melalui beberapa anastomosis. Suatu pleksus
vaskular di sepanjang bagian anterior septum kartilaginosa menggabungkan
sebagian anastomosis ini dan dikenal sebagai little area atau pleksus Kiesselbach. Karena ciri
vaskularnya dan kenyataan bahwa daerah ini merupakan objek trauma fisik dan
lingkungan berulang maka merupakan lokasi epistaksis yang tersering.
Menentukan sumber perdarahan amat penting, meskipun
kadang-kadang sukar ditanggulangi. Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan,
yaitu dari bagian anterior dan posterior.
1)
Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach,
merupakan sumber perdarahan paling sering dijumpai anak-anak. Dapat juga berasal dari arteri ethmoid anterior.
Perdarahan dapat berhenti sendiri (spontan) dan dapat dikendalikan dengan
tindakan sederhana.
Gambar 10. Epistaksis anterior
2)
Epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan
arteri ethmoid posterior. Perdarahan cenderung lebih berat dan jarang berhenti
sendiri, sehingga dapat menyebabkan anemia, hipovolemi dan syok. Sering
ditemukan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular
Gambar 11. Epistaksis posterior
2.3.4.
Anamnesis dan
Pemeriksaan Fisik
Anamnesis
Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan
berasal dari bagian depan dan belakang hidung. Perhatian ditujukan pada bagian
hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau pada bagian hidung yang terbanyak
mengeluarkan darah. Pada anamnesis harus ditanyakan secara spesifik mengenai:(3)
1.
Riwayat perdarahan sebelumnya
2.
Lokasi perdarahan
3.
Apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorokan atau keluar dari hidung
depan bila pasien duduk tegak
4.
Lama perdarahan dan frekuensinya
5.
Kecenderungan perdarahan
6.
Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
7.
Hipertensi
8.
Diabetes melitus
9.
Penyakit hati
10. Penggunaan antkoagulan
11. Trauma hidung belum lama
12. Obat-obatan misal aspirin
Kebanyakan
kasus epistaksis timbul sekunder trauma yang disebabkan oleh mengorek
hidung menahun atau mengorek krusta yang telah terbentuk akibat pengeringan mukosa
hidung berlebihan.(4)
Perlu
ditanyakan juga mengenai kelainan pada kepala dan leher yang berkaitan dengan
gejala-gejala yang terjadi pada hidung. Bila perlu, ditanyakan juga megenai
kondisi kesehatan pasien secara umum yang berkaitan dengan perdarahan misalnya
riwayat darah tinggi, arteriosclerosis, koagulopati, riwayat perdarahan yang
memanjang setelah dilakukan operasi kecil, riwayat penggunaan obat-obatan
seperti koumarin, NSAID, aspirin, warfarin, heparin, ticlodipin, serta kebiasaan merokok dan minum-minuman
keras.(4)
Pemeriksaan Fisik
Alat-alat yang
diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala, spekulum hidung dan alat
penghisap (bila ada) dan pinset bayonet, kapas, kain kassa.(4)
Untuk
pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi dan ketinggian
yang memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau
mengeksplorasi sisi dalam hidung.(3)
Dengan
spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran dalam
hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah dibersihkan
semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor
penyebab perdarahan. Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi
dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain
2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan
rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat
berhenti untuk sementara. Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung
dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.(4)
Pasien
yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang
bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan
perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan.
Pemeriksaan yang diperlukan berupa:(5)
a)
Rinoskopi anterior : Pemeriksaan
harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum,
mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konkha inferior harus
diperiksa dengan cermat.
Gambar 12. Rhinoskopi Anterior
b)
Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan
rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis berulang dan sekret
hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma
c) Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk
menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi dapat menyebabkan
epistaksis yang hebat dan sering berulang.
d) Rontgen sinus dan CT-Scan
atau MRI
Rontgen
sinus dan CT-Scan atau MRI penting mengenali neoplasma atau infeksi.
Gambar
13. Gambaran sagital MR pada solitary fibrous tumor dengan
masa tumor dan epistaksis dan Gambaran angiogram angiofibroma
juvenil dengan obstruksi hidung dan epistaksis
e)
Endoskopi
hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan penyakit lainnya.
Gambar 14. Tampilan endoskopi
epistaksis posterior
f)
Skrining terhadap koagulopati
Tes-tes yang tepat termasuk waktu
protrombin serum, waktu tromboplastin parsial, jumlah platelet dan waktu
perdarahan.
g)
Riwayat penyakit
Riwayat penyakit yang teliti dapat
mengungkapkan setiap masalah kesehatan (underline
desease) yang mendasari epistaksis.
2.3.5.
Penatalaksanaan
Tiga prinsip
utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan perdarahan,
mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Kalau ada syok,
perbaiki dulu kedaan umum pasien.
1.
Perbaiki keadaan
umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk kecuali bila penderita
sangat lemah atau keadaaan syok.
2.
Menghentikan perdarahan
a.
Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan,
perdarahan dapat dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan,
kemudian cuping hidung ditekan ke arah septum selama beberapa menit (metode
Trotter).
‘;
Gambar
14. Metode Trotter
b.
Tentukan sumber perdarahan dengan memasang tampon
anterior yang telah dibasahi dengan adrenalin dan pantokain/lidokain, serta
bantuan alat penghisap untuk membersihkan bekuan darah.
Gambar 15. Tampon
Anterior
c.
Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat
dilihat dengan jelas, dilakukan kaustik dengan larutan nitras argenti 20%-30%,
asam trikloroasetat 10% atau dengan elektrokauter. Sebelum kaustik diberikan
analgesia topikal terlebih dahulu.
d.
Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus
berlangsung, diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa
yang diberi vaselin yang dicampur betadin atau zat antibiotika. Dapat juga
dipakai tampon rol yang dibuat dari kasa sehingga menyerupai pita dengan lebar
kurang ½ cm, diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke puncak rongga
hidung. Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal perdarahan dan dapat
dipertahankan selama 1-2 hari.
Gambar 16. kauterisasi
sumber perdarahan
e.
Perdarahan
posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau tampon Bellocq,
dibuat dari kasa dengan ukuran lebih kurang 3x2x2 cm dan mempunyai 3 buah
benang, 2 buah pada satu sisi dan sebuah lagi pada sisi yang lainnya. Tampon
harus menutup koana (nares posterior)
Gambar 17. Diagram penangan epistaksis
Epistaksis yang tidak hilang dengan penekanan dan pemberian topical
vasokonstriktor membutuhkan tindakan kauterisasi. Setelah mempersiapkan hidung
untuk di anastesi dan pemberian dekongestan, kauterisasi kimia (chemical cautery) dengan mengunakan
silver nitrate dapat dikerjakan. Hanya satu sisi septum yang di kauterisasi
pada satu waktu agar menurunkan resiko perforasi septum iatrogenic. Kauterisasi
kimia dapat dilakukan pada epistaksis dengan perdarahan ringan aktif atau
setelah perdarahan aktif yang telah berhenti dan sumber perdarahan telah
teridentifikasi. Apabila harus dilakukan kauterisasi bilateral, penanganannya
harus di lakukan terpisah 4-6 minggu agar terjadi penyembuhan mukosa terlebih
dahulu. Epistaksis berat yang tidak berespon dengan kauterisasi kimia memerluka
kauterisasi elektrikal.
Gambar 18. Anterior Nasal Packing / Tampon Hidung
Anterior
|
Apabila perdarahan masih berlanjut walaupun
setelah dilakukan tindakan diatas, diperlukan pemasangan anterior nasal pack / tampon hidung anterior.
Produk packing tradisional mengandung
materi yang non-degradasi seperti kasa yang dilapisi jeli petroleum, spons yang
terbuat dari hydroxylated polyvinyl
acetate yang akan mengembang apabila basah (Merocel, Medtronic), dan inflatable pack dilapisi hydrocolloid
yang masih kontak dengan mukosa setelah bagian tengah pack yang telah mengempis
dan dibuang (Rapid Rhino, ArthroCare). Tampon-tampon ini dipakai selama 1-3
hari sebelum dilepas.
Pemansangan
anterior nasal packing / tampon hidung anterior harus dilakukan dengan
hati-hati dan dengan teknik khusus. Forceps bayonet dan speculum nasal
digunakan untuk melipat lembaran kasa sedalam mungkin pada kavum nasi. Setiap
lipatan harus di tekan sebelum lembaran baru tambahkan diatasnya. Setalah cavun
nasi tersisi dengan kasa, ujung kasa dapat ditempelkan diatas lubang hidung dan
di ganti berkala.
Selain mengunakan kasa untuk anterior nasal packing, dapat juga di gunakan spons (Merocel atau Doyle
Sponge). Tampon dimasukan dengan hati-hati pada dasar cavum nasi karena akan
mengembang apabila terkena darah atau cairan lain. Pemberian jel lubrikan pada
ujung tampon mempermudah pemasangan. Setelah tampon terpasang, tetesi tampon
dengan sedikit cairan vasokonstriktor untuk mempercepat perhentian perdarahan.
Tetesi saline kedalam lubang hidung agar tampon dapat mengembang sempurna.
Tampon dapat dilepas setelah 3-5 hari terpasang dengan memastikan telah terjadi
formasi pembekuan darah yang adekuat.
Komplikasi
dari pemasangan nasal packing ini adalah hematoma septum dan abses dari trauma
packing, sinusitis, singkop neurogenic selama pemasangan, dan nekrosis jaringan
karena penekanan dari tampon itu sendiri. Karena adanya kemungkinan terjadi
sindrom syok toksik pada pemasangan tampon yang lama, pemberian salep
antibiotik topikal pada tampon diperlukan.
Epistaksis
posterior jarang terjadi dibandingkan epistaksis anterior dan biasanya ditangani
oleh dokter spesialis. Posterior nasal
packing atau tampon posterior dilakukan dengan memasukkan kateter melalui
salah satu lubang hidung atau keduanya ke nasofaring dan keluar melalui mulut.
Tampon kasa di kaitkan diujung kateter lalu ditempatkan di nasofaring
posterior, lalu kateter ditarik dari hidung sehingga tampon kasa dapat berada
di belakang koana dan menutupi aliran rogga hidung posterior serta memberikan
efek penekanan pada sumber perdarahan. Prosedur ini memerlukan keterampilan
khusus dan biasanya dilakukan oleh dokter spesialis. Semua pasien dengan tampon
posterior ini harus dilakukan monitoring di rumah sakit.
Gambar 19. Posterior nasal packing/Tampon hidung
posterior
Beragam
sistem balon efektif dalam menangani perdarah posterior dan menimbulkan
komplikasi yang lebih sedikit di bandingkan dengan prosedur packing. Konsepnya tetap sama, dengan
memasukkan udara atau cairan kedalam balon, balon akan mengembang dan memberikan
penekanan pada dinding lateral hidung dan septum. Tipe terbaru dari balon nasal
adalah double balloon, gabungan dari
balon dan Merocel yang mempunyai kemampuan untuk tetap berada di tempatnya
setelah balon mengempis dan dilepas. Beberapa balon nasal dapat memberikan
jalur pernafasan melalui lubang yang ada di tengahnya. Sama seperti anterior nasal packing, nekrosis jaringan dapat terjadi pada
pemasangan posterior nasal packing
yang salah maupun pada pemasangan balon yang dikembangkan berlebihan.
Gambar 20. Double
Balloon terpasang
|
Gambar 21. Perbandingan Double Balloon sebelum dan sesudah di
kembangkan
|
Ketika tindakan konservatif
gagal untuk menghentikan perdarahan, embolisasi atau ligasi pembuluh darah
diperlukan. Ahli radiologi intervensi dapat melakukan embolisasi pada cabang
distal dari arteri maxillaris interna dan arteri sphenopalatina untuk epistaksis
posterior. Resiko terjadinya komplikasi mayor seperti stroke, paralisis wajah,
kebutaan, atau neuropati berhubungan dengan administrasi material kontras
adalah sebesar 4%. Komplikasi minor seperti hematoma terjadi 10% dari kasus.
Sedangkan angka kesuksesan dari kebanyakkan kasus adalah 80-90%.
Berdasarkan beberapa laporan kasus dan ulasan
literatur, tingkat kesuksesan ligasi arteri sphenopalatina adalah sama atau
lebih tinggi dibandingkan tindakan embolisasi. Ligasi dapat dilakukan 30-60
menit dengan mengunakan teknik endoskopik modern. Ligasi endoskopik arteri
sphenopalatina dapat mencegah terjadiya resiko-resiko diatas tetapi membutuhkan
anastesi umum.
Epistaksis anterior yang gagal pada
kausterisasi ataupun packing jarang
terjadi, tetapi intervensi bedah terkadang dibutuhkan. Embolisasi pada arteri
etmoidalis anterior dan posterior jarang dilakukan karena adanya resiko
kanulasi dari arteri karotis interna yangmana meningkatkan resiko terjadinya
stroke, atau pada arteri ophtalmika yangmana meningkatkan resiko terjadinya
kebutaan. Kebanyakan otolaringologis melakukan ligasi eksternal dari arteri
ethmoidalis anterior dan posterior melalui insisi kecil di medial alis mata dan
melakukan kauter bipolar atau mengklem pembuluh darah sebelum pembuluh darah tersebut
keluar dari foramen etmoidalis anterior dan posterior. Dengan begitu resiko
stroke dan kebutaan dapat di minimalisir.
Ketika epistaksis telah terkontrol, perawatan
rutin mukosa hidung penting untuk diperhatikan agar menghindari rekurensi.
Pemberian gel topical, lotion, dan salep dapat melembabkan mukosa dan
mempercepat penyembuhan.
2.3.6.
Komplikasi
Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau
akibat usaha penanggulangannya. Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul
sinusitis (karena ostium sinus tersumbat), air mata yang berdarah (bloody tears) karena darah mengalir
secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis dan septikemia. Akibat
pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media, haemotympanum, serta laserasi palatum mole dan sudut bibit bila
benang yang dikeluarkan melalui mulut terlalu kencang ditarik.
Sebagai akibat perdarahan
hebat dapat terjadi syok dan anemia. Tekanan darah yang turun mendadak dapat
menimbulkan iskemia otak, insufisiensi koroner dan infark miokard dan akhirnya
kematian. Harus segera dilakukan pemberian infus atau transfusi darah.
2.3.7.
Pencegahan
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk
mencegah terjadinya epistaksis antara lain :
1.
Gunakan semprotan hidung atau tetes larutan garam,
yang keduanya dapat dibeli, pada kedua lubang hidung dua sampai tiga kali
sehari. Untuk membuat tetes larutan ini dapat mencampur 1 sendok teH garam ke
dalam secangkir gelas, didihkan selama 20 menit lalu biarkan sampai hangat
kuku.
2.
Gunakan alat untuk melembabkan udara di rumah.
3.
Gunakan gel hidung larut air di hidung, oleskan
dengan cotton bud. Jangan masukkan cotton bud melebihi 0,5 – 0,6cm ke dalam
hidung.
4.
Hindari meniup melalui hidung terlalu keras.
5.
Bersin melalui mulut.
6.
Hindari memasukkan benda keras ke dalam hidung,
termasuk jari.
7.
Batasi penggunaan obat – obatan yang dapat
meningkatkan perdarahan seperti aspirin atau ibuprofen.
8.
Konsultasi ke dokter bila alergi tidak lagi bisa
ditangani dengan obat alergi biasa.
9.
Berhentilah merokok. Merokok menyebabkan hidung
menjadi kering dan menyebabkan iritasi.
2.3.8.
Prognosis
Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat
berhenti sendiri. Pada pasien hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis,
biasanya perdarahan hebat, sering kambuh dan prognosisnya buruk.
BAB
III
PENUTUP
Epistaksis (perdarahan dari
hidung) adalah suatu gejala dan bukan suatu penyakit, yang disebabkan oleh
adanya suatu kondisi kelainan atau keadaan tertentu. Epistaksis bisa bersifat
ringan sampai berat yang dapat berakibat fatal. Epistaksis disebabkan oleh
banyak hal, namun dibagi dalam dua kelompok besar yaitu lokal dan sistemik.
Epistaksis dibedakan menjadi dua berdasarkan lokasinya yaitu epistaksis
anterior dan epistaksis posterior. Dalam memeriksa pasien dengan epistaksis
harus dengan alat yang tepat dan dalam posisi yang memungkinkan pasien untuk
tidak menelan darahnya sendiri.
Prinsip penanganan
epistaksis adalah menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah
berulangnya epistaksis. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk memeriksa pasien
dengan epistaksis antara lain dengan rinoskopi anterior dan posterior,
pemeriksaan tekanan darah, foto rontgen sinus atau dengan CT-Scan atau MRI,
endoskopi, skrining koagulopati dan mencari tahu riwayat penyakit pasien. Tindakan-tindakan yang dilakukan pada
epistaksis adalah:
a. Memencet hidung
b. Pemasangan
tampon anterior dan posterior
c. Kauterisasi
d. Ligasi
(pengikatan pembuluh darah)
e. Embolisasi
Epsitaksis dapat dicegah
dengan antara lain tidak memasukkan benda keras ke dalam hidung seperti jari,
tidak meniup melalui hidung dengan keras, bersin melalui mulut, menghindari
obat-obatan yang dapat meningkatkan perdarahan, dan terutam berhenti merokok.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Richard S S.
Clinical Neuroanatomy. 8th, editor. Philadelphia: Lippincot Williams &
Wilkins; 2013.
2. Soetjipto,
Damayanti, Mangunkusumo E. Hidung. In: Efiaty A, Nurbaity I, editors. Buku Ajar
Ilmu Telinga Hidung Tenggorokan. Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Indonesia; 2012. p. 96–100.
3. Adams GL,
Boies LR, Higler PH. Epistaxis. In: Boies Fundamentals of Otolaryngology. 6TH
ed. Philadelphia: W.B. Saunders Company; 1994. p. 223–7.
4. Soetjipto,
Damayanti, Wardani R. Epistaksis. In: Efiaty A, Nurbaity I, editors. Buku Ajar
Ilmu Telinga Hidung Tenggorokan. Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Indonesia; 2012. p. 131–5.
5. Nguyen QA.
Epistaxis [Internet]. Medscape. 2017 [cited 2018 Feb 1]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/863220-overview
6. Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2014. 1952-1957 p.